"Kalau cuma dengan pikiran, mungkin segalanya akan selesai dengan mudah. Tapi, soal hati..." (Kata wakil kepala sekolah "gagak" di Nobuta wo Produce sambil ngeledek Shuuji)
Nah lho.
Kalo dipikir2, dari dulu aku berusaha hidup dengan "profesional". Apaan tuh? Haha, hidup sesuai peraturan yang mengikat, kebenaran mutlak. Hidup sewajarnya. Tapi kata "wajar" itu kan bisa berubah ya? Makanya nilai wajar pun berubah seiring bertambahnya usia... (haha ketauan tua nya deh).
Dengan kata lain, mengesampingkan perasaan.
Perasaan itu kan sesuatu yang mudah berubah, jadi gak perlu berpegang pada perasaan lah.
Tapi, benarkah perasaan itu sesuatu yang mudah berubah? Hmm... seiring bertambahnya usia (T_T), aku sekarang merasa : bukan mudah sih, tapi bisa dan cenderung.
Mulai deh, blabbering around like that -_-''. Langsung intinya dong mbak!
Okeh, okeeh.
Jadi,,, ehm...
Sekarang saya sedang berdiri di persimpangan jalan, berusaha memutuskan,, mau makan pake Mie Ayam atau Nasi Uduk.... #ditimpuk sendal#
beneran kook...
Sekarang pagi agak siang,, saya pengen makan Mie Ayam. Tapi kalo makan Mie Ayam pagi-pagi, perut saya bisa rusak kan? Wajarnya orang akan makan Nasi Uduk pagi2. Jadi yang bener makan Nasi Uduk kan? Meskipun ada abang-abang Mie Ayam yang dengan baik hatiiii banget menawarkan Mie Ayam gratis, tapi hukum kesehatan mengatakan bahwa itu mungkin bisa merusak perut saya,, biarpun saya ngidam Mie Ayam sejak lama dan akhirnya dateng Mie Ayam gratis, tapi kaaan...
Haha, mungkin agak seperti itu persimpangan yang sedang saya hadapi.. Pilihan mudah mungkin,, Tapi jadi nggak mudah kalau saya melibatkan keinginan saya "Ingin bahagia". Toh, barangkali setelah makan Mie Ayam saya akan menyesal, "kalo tau gini makan nasi uduk aja deh.." Atau kalau saya makan nasi uduk saya jadi mikir, "Sedih banget sih, itu kan Mie Ayam Super Enak Bersertifikat Internasional,,"
Saya rasa saya akan memilih Nasi Uduk, dan seperti biasa, mengesampingkan perasaan saya.
Begitulah dilema saya berakhir. Sebuah keputusan yang baru saya putuskan setelah saya mengetik sampai paragraf ini. Sebelum saya berubah pikiran lagi, keputusan itu harus dituliskan!
Sebenarnya saya nggak ingin mengecewakan siapapun, tukang Nasi Uduk maupun tukang Mie Ayam. Karena itu saya ingin sekali menghilang dari sini... tapi inget lagi bahwa "Meskipun aku jatuh ke dasar, hidup tidak berakhir dengan mudah. Dalam hidup ada saat2 yang mengerikan dan saat2 yang luar biasa. Di saat yang bagaimanapun, manusia harus tetap hidup." (Shuuji Nobuta wo Produce).
"Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan..." (Q.S. Al-Insyirah).
Meskipun saya ingin menghilang, tapi nggak bisa semudah itu. Kalau saya nggak makan Mie Ayam juga kan sebenarnya tukang Mie Ayam untung karena nggak akan merasa bersalah kalau nanti saya distorsi usus.
Yaah, maka begitulah di paragraf ini saya jadi semakin yakin.
Sekian curhatan saya,,
Saya pasti akan baik-baik saja, biarpun Tukang Mie Ayamnya sedih, saya juga sedih, tapi ini untuk kebaikan bersama...
Mungkin ini keputusan egois, karena Tukang Mie Ayam itu luar biasa baik. Tapi ya sudahlah,, Saya nggak ingin merusak siapapun... saya juga salah karena usus saya nggak kuat makan Mie Ayam di hari yang Agak Siang...
No comments:
Post a Comment