Sunday, August 14, 2011

HIDUP DAN KEINDAHAN

Sepotong bab dari buku Dr. Hamka, Pandangan Hidup Muslim,  yang bersemayam di rak buku ayah saya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------


Hidup itu untuk apa?

Alangkah murahnya nilai hidup ini, kalau hanya semata-mata terbatas pada kebendaan. Apalah harganya manusia ini, kalau pikirannya hanya tertuju kepada nasi dan gulai, roti dan garam. Tak pernah matanya singgah pada bunga yang sedang mekar atau bintang berkelip di halaman langit.

Alangkah gersangnya hidup itu, kalau kerja petang pagi, siang malam, hanya menghitung membilang, membagi, membuat kali-kali. Mempertinggi ilmu-pasti pada alam, tetapi tak meresapkan keindahan yang ada dalam alam.

Tubuh menghendaki benda untuk menyuburkannya; dia hendak makan, hendak berpakaian, hendak bertempat tinggal. Akal berkehendak kepada bahan yang akan di pikirkan menurut undang-undang berpikir (logika). Tetapi di samping tubuh dan akal, ada lagi perasaan halus, ('athifah atau gevoel).

Yang meninggikan semarak perasaan halus itu adalah keindahan.

Ilmu-pasti dan logika kerap kali kering dan gersang.. Tetapi hidup dalam perasaan karena keindahan adalah lunak dan halus. Menimbulkan serba rasa, sajak gembira dan bahagia sampai terharu. Dan semuanya menimbulkan ilham.

Perasaan ialah garam hidup. Dengan perasaan manusia merenung, mencari ketenangan dalam pergolakan. Menampak bahagia dalam sengsara. Menampak jernihnya masa depan dalam keruhnya yang sekarang. Imbangan nada tinggi-menlengking dengan nada rendah mengendor, itulah dia musik dari kehidupan.

Perasaan, apabila diasuh-diasah, tajamlah dia untuk mencari yang indah. Sehingga dilihat orang di luar dinding, disangka orang siksa, padahal bagi orang dalam dinding dirasai ni'mat.

Manusia sejak ia diciptakan, selalu merentangkan tali di antara alam dengan hatinya. Tumbuhlah kehalusan perasaan itu dengan sederhana pada mulanya, karena melihat keindahan langit, kesuburan bumi dan keluasan laut, warna-warni bulu burung dan mekarnya kembang, matahari terbit dan terbenam. Tetapi karena beratnya tekanan hidup, mencari beras seliter kadang-kadang kendorlah tali hubungan hati dengan alam itu atau pudar sama sekali. Demi apabila keperluan sehari-hari berangsur kemakmurannya, mulailah dirasai bahwa hidup bukanlah semata-mata "cari makan". Hidup bukanlah semata-mata tekun mencari ilmu. Ada yang lebih tinggi dari makan dan ilmu, yaitu kehalusan perasaan buat menangkap yang indah, yang ada di sekeliling diri.

Bila ini tercapai, inilah "Tiang Hidup".

<>

Alangkah ramai dan banyaknya yang indah dalam alam ini. Bertambah direnung, dilihat, bertambah jelas Kesatuan Pokok dalam berbagai ranting. Kesatuan ulu dalam berbagai ilir.

Alangkah miskinnya hidup ini, kalau mata terkembang, tapi tak melihat. Telinga terdandang, tapi tak mendengar. Alangkah payanya "menggesek rebab di telinga kerbau".

Gosoklah mata ini, bukan dari luar, tapi dari dalam. Tunjukilah kotorang dalam telinga, bukan dari kulitnya, tapi dari isinya; sehingga bila melihat yang indah, saudara tidak ingin hendak merusakkannya. Melihat sawah menguning ketika padi mulai masak, bukan semata teringat berapa hasil berasnya. Melihat laut terhampar bukan semata timbul selera makan ikan. Melihat gadis cantik jelita, bukan semata ingin menambah bini.

Bukan saudara! Bukan!

Pandanglah unta bagaimana dia dijadikan, dan pandanglah langit bagaimana dia diangkatkan, dan pandanglah gunung bagaimana dia dipancangkan, dan pandanglah bumi bagaimana dia dihamparkan.

Kalau saudara hendak mengetahui rahasia kebenaran, ingatlah bahwa usia manusia bukanlah disandarkan kepada bilangan tahun dia hidup. Kekayaan manusia bukanlah ukuran gedung dan mobilnya. Nilai umur dan nilai hidup ditentukan oleh halus kasarnya perasaan melihat keindahan-keindahan yang ada di sekeliling kita.

Tergetarkah hati, atau membatukah hati melihat bunga kembang, mendengar perkutut berbunyi dan angin sayu mendayu, bengawan mengalir, dan gunung menjulang langit dan asap mengepul naik, bukit mengwajah hijau dan laut dalam membiru. Adakah terjadi soal jawab di antara hati saudara dengan keindahan itu atau diam sajakah?

Itu adalah "pintu-pintu" belaka, itu adalah "rumus-rumus" belaka daripada sesuatu Yang Ada di belakangnya. Yaitu keindahan yang mutlak. Keindahan yang Abadi, Keindahan yang Azali.

Tertegun sejenak merenung alam, dan sanggup mempertalikan keindahan itu dengan hati, lebih berharga saudara, daripada 1000 tahun menghabiskan usia mengumpulkan harta, bahkan mengumpulkan "kuliah" dan "ilmiah" !

<>

Pada segala sudut dan segi alam itu kelihatan dan kedengaranlah Keindahannya. Setiap keindahan ada warnanya sendiri dan ada rasanya sendiri.

Berdiri ke atas bukit dan merenung ke bawah, kelihatan lembah dan ngarai. Surya memancarkan sinar, mentilau bernyanyi, ayam berkokok dan air sungai mengalir menuju lautan.

Pergi ke halaman rumah di waktu malam, menyaksikan bintang-bintang berkelip-kelip, laksana berbisi dan tersenyum. Seakan-akan tidak peduli bahwa kita dalam susah.

Semuanya itu meninggalkan kesan dalam hati, sangat dalam. Kita merasa terharu.

Terharu adalah gabugan dari dua perasaan yang berlawanan; yaitu sedih dalam gembira, atau gembira dalam sedih.

Yang menimbulkan gembira adalah karena indahnya; jamal-nya.

Yang menimbulkan sedih adalah karena agungnya, jalal-nya.

Melihat bagaimana besar dan agungnya, mulianya, terasalah rendah dan kecilnya kita manusia ini. Di manakah letak "aku" di dalam kebesaran dan keagungan yang hebat dahsyat ini?

Lihatlah matahari yang indah tapi perkasa ini. Dia adalah sumber dari cahaya kita dan api kita. Kedatangannya dan kepergiannya selama 24 jam, meninggalkan bekas yang ajaib kepada alam kita.

Kepada laut, cahaya yang panas itu menyebabkan uap. Dan uap di angkat oleh awan ke langit. Setelah berkumpul dia menjadi mega mendung dan turun balik ke bumi dalam nama hujan. Dari hujan mengalir sungai, kali dan batang. Disinggungnya bumi yang kering, sehingga subur. Disinggungnya urat kayu, maka mekarlah bunga. Dan dia jalan terus. Jalan terus, kembali ke lautan tempat datangnya tadi. Panas cahaya matahari mempermainakan angin, dan angin mempermainkan laut, sehinga menjadilah alun. Alun menimbulkan gelombang, gelombang menimbulkan ombak, dan ombak memecah ke pantai. Bahtera besar sedang berlayar pun dipermainkannya, dibuai-buaikannya, laksana sabut terapung pada sebuah kolam kecil saja. Dan manusia yang menumpang di kapal itu dipermainkan pula oleh kapal itu sendiri.

Lihatlah bulan yang bening damai itu, tak berhenti dia membawa keindahan; sejak masih bulan sabit kecil kurus ramping. Tiap malam diperlihatkannya perubahannya. Laksana seorang gadis menunggu tunangannya datang, sehingga dia kurus, harap cemas; kian lama kian gemuk sebab telah bertemu kasih. Tetapi setelah pertemuan, tunangan itu pergi lagi, serupa tidak akan pulang-pulang, sehingga kuruslah yang ditinggalkan.

Sepanjang bulan pada setiap tahun, kita diberi peringatan tentang nasib yang harus dilalui manusia dalam hidup; sejak kecil, budak-kanak, sampai naik muda-remaja, sampai matang sempurna umur, sampai menurun hingga sampai tua, sampai........ hilang. Dan bulan itupun mempermainkan air laut, sehingga timbul pasang naik dan pasang turun.

Berdiri ke tepi danau Singkarak tengah hari, dia kelihatan laksana seorang gadis jolong naik yang belum pernah kena tipuan hidup, gembira dan senyum terus, berlari lincah laksana anak kijang. Percaya bahwa manusia jujur semua.

Berdiri ke tepi danau Maninjau tengah hari, dia kelihatan laksana seorang tua yang telah banyak merasai pahit-getirnya kehidupan, sehingga laksana digantung di sukatnya segala senyum yang disenyumkan oleh orang yang baru datang.

Berdiri ke tepi Begawan Solo, berceritalah dia tentang Kerajaan Mataram yang lama. Tertegun di tepi Kali Brantas, seakan-aan diulangnyalah kisah Patih Gajah Mada dan Kaisar Hayam Wuruk. Berdiri di pinggir Musi, berceritalah dia tentang Sang Nila Utama dan Demang Lebar Daun.

Bukit dan gunung pun demikian.. Naik kapal terbang menuju Eropa; sampai ke-Sabang, masih kelihatan hijau alamat kesuburan. Sampai di tanah Arab kelihatan gunung batu granit hitam. Sampai di pegunungan Alpen kelihatan gunung putih bersih diselaputi salju.......

Sehingga padang pasir Sahara yang kering itu pun penuh keindahan. Luas....... Luas tak kunjung nampak di mana akan berhentinya.

Maka bertanyalah diri terhadap diri: "Apakah yang indah ini, di mana aku tahu apa yang indah. Dimana yang sebenarnya indah itu. Adakah aku meresapi keindahan, kalau dalam aku sendiri tidak ada keindahan?

Siram suburkanlah rasa keindahan yang ada dalam jiwa saudara, sebab dialah alat penangkap keindahan di luar diri. Apabila telah berpadu di antara keindahan di luar dengan yang di dalam, niscahya akan terlompat dari mulut saudara satu ucapan yang tak ada ucapan di atasnya lagi; "Rabbana ma chalaqta ahaza batilan Subhanak!" (Tuhanku, semuanya ini tidak ada yang Engkau jadikan dengan sia-sia. Amat Suci Engkau).

Tuhanku,

Tiada yang lain,

Hanya Engkau.....


_________


No comments:

Post a Comment